Minggu, 03 April 2011

Agama sebagai Gejala Budaya dan Sosial

a. Agama Sebagai Gejala Budaya

Pada awalnya ilmu hanya ada dua, yaitu : ilmu kealaman dan ilmu budaya. Ilmu kealaman, seperti fisika, kimia, biologi dan lain-lain mempunyai tujuan utama mencari hukum-hukum alam, mencari keteraturan-keteraturan yang terjadi pada alam. Oleh karena itu suatu penemuan yang dihasilkan pada suatu waktu mengenai suatu gejala atau sifat alam dapat dites kembali oleh peneliti lain, pada waktu lain, dengan memperhatikan gejala eksak. Contoh, kalau sekarang air mengalir dari atas kebawah, besok apabila dites lagi juga hasilnya begitu. Itulah inti dari penelitian dalam ilmu-ilmu eksak, yakni mencari keterulangan dari gejala-gejala yang kemudian diangkat menjadi teori dan menjadi hukum. Sebaliknya ilmu budaya mempunyai sifat tidak berulang tetapi unik [M.Atho Mudzhar, 1998:12]. Sebagai contoh, budaya stau kelompok masyarakat unik buat keleompok masyarakat tersebut, sebuah situs sejarah unik untuk situs tersebut dan sebagainya dan disini tidak ada keterulangan.
Menurut M.Atho Mudzhar [1998:12-13], di antara penelitian kelaman dan budaya, terdapat penelitian-penelitian ilmu-ilmu sosial. Sebab penelitian ilmu sosial berada di antara ilmu budaya dan ilmu kelaman, yang mencoba untuk memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangannya. Karena itu, penelitian ilmu sosial mengalami problem dari segi objektivitasnya. Apakah penelitian sosial itu objektif dan dapat dites kembali keterulangannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua aliran yang dapat digunakan, yaitu : Pertama, aliran yang menyatakan bahwa penelitian sosial lebih dekat depada penelitian budaya, ini berarti sifatnya unik. Misalnya saja, penelitian antropologi sosial, lebih dekat pada ilmu budaya. Kedua, aliran yang menyatakan bahwa ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu kealaman, karena fenomena sosial dapat berulang terjadinya dan dapat dites kembali. Untuk mendukung pendapat mengenai keteraturan itu, maka dalam ilmu sosial digunakan ilmu-ilmu statistik yang juga digunakan dalam ilmu-ilmu kelaman. Perkembangan selanjutnya, sekrang ini ada ilmu statistik khusus untuk ilmu-ilmu sosial yang digunakan untuk mengukur gejala-gejala sosial secara lebih cermat dan lebih signifikant. Dapat dikatakan bahwa inti ilmu kealaman adalah ”positivisme”.
Suatu penemuan, baru dikatakan atau dianggap sebagai ilmu apabila memenuhi syarat, yaitu : [1] dapat diamti [observable],
[2] dapat diukur [measurable], dan
[3] dapat dibuktikan [verifiable].
Ilmu budaya hanya dapat diamati dan kadang-kadang tidak dapat diukur apalagi diverifikasi. Sedangkan ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu alam mengatakan bahwa ilmu sosial dapat diamati, diukur dan diverifikasi. Oleh karena itu, para ilmuan sosiologi dari Universitas Chicago mengembangkan sosiologi kuantitatif yang lebih menekankan pada perhitungan- perhitungan statistik dan juga dikalangan sosiologi Indonesia berada pada dua posisi tersebut, yaitu kelompok kuantitatif dan kelompok kualitatif [M.Atho Mudzhar, 1998:13].
Timbul pertanyaan, dapatkah agama didekati secara kualitatif atau kuantitatif? Jawabannya, dapat. Artinya agama dapat didekati secara kualitatif dan kuantitatif sekaligus, atau salah satunya, tergantung unsure-unsur agama yang diteliti itu dilihat sebagai gejala apa. Menurut beberapa para ahli, ada lima bentuk gejala agama yang diperhatikan, apabila kita hendak mempelajari atau meneliti suatu agama, yaitu :
[1] Scripture, naskah-naskah atau sumber ajaran dan symbol-simbol agama.
[2] Para penganut,pimpinan, pemuka agama, menyangkut dengan sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
[3] Ritus-ritus, lembaga-lembaga, ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
[4] Alat-alat, seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
[5] Organisasi-organisasi kegamaan, tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Gejera Katholik, Protestan, Syi’ah, Sunni dan sebagainya [M.Atho Mudzhar, 1998:13-14].

Dalam penelitian keagamaan, peneliti dapat mengambil sasaran dari kelima bentuk gejala tersebut. Maisalnya saja, studi tentang tokoh, maka biasanya membahas tentang kehidupan dan pemikiran tokoh tersebut, termasuk begaimana tokoh itu tersebut mencoba memahami dan mengaktualisasikan agama yang diyakininya. Dalam penelitian naskah atau sumber-sumber ajaran agama yang pertama diteliti adalah persoalan filologi dan kemudian adalah isi dari naskah yang ada. Misalnya saja, membahas al-Qur’an dan isinya, kritik atas terjemahan orang lain, kitab tafsir atau penafsiran seseorang, kitab hadis, naskah-naskah sejarah agama dan sebagainya. Atau dapat meneliti ajaran atau pemikiran-pemikiran yang berkembang sepanjang sejarah suatu agama[M.Atho Mudzhar, 1998:14].
Katakan saja, penelitian terhadap peralatan agama, maka tergantung pada alat apa yang diteliti. Misalnya saja, orang akan meleiti tentang sejarah ka’bah, kapan didirikan, siapa yang membangun, bagaimana bentuknya dan seterusnya. Demikian pula alat-alat agama lain yang dapat dijadikan sasaran penelitian, maka yang perlu dilakukan adalah apakah alat-alat tersebut betul-betul alat agama atau tidak, karena ada yang hanya dianggap sebagai alat agama, tetapi sebenarnya bukan alat agama, seperti peci. Misalnya, di daerah tertentu menganggap peci sebagai ”tanda” atau ”simbol” orang Islam dan bahkan ada yang menggap sebagai pelengkap sahnya salat. Tetapi di daerah lain, orang yang beragama Kristen-pun menggunakan peci, bahkan peci digunakan untuk pengambilan sumpah pejabat dan bahkan di daerah lain peci sebagai ”simbol” kebangsaan daripada keagamaan. M.Atho Mudzhar [1998:15], mengatakan kenapa begitu? Ada pendapat dalam ilmu sosiologi, suatu benda dianggap suci [sakral] karena orang menganggapnya demikian, tetapi benda yang sama mungkin saja tidak menjadi suci [profane] apabila orang tidak menganggapnya suci.
Dalam komunitas Islam juga terjadi hal yang sama. Tetapi, dalam konsep Islam, sebenarnya tidak ada hal-hal atau benda yang dianggap sakral atau suci. Misalnya, Hajar Aswad, Umar bin Khattab, mengakatakan ”Kalau saya tidak melihat Nabi menciummu, saya tidak akan menciummu. Kamu hanya sebuah batu, sama dengan batu-batu yang lain” . Maka, nilai Hajar Aswad bagi seorang muslim, terletak pada kepercayaan orang tersebut mengenai nilai-nilai yang ada di dalamnya dan bukan sakral. Perilaku umat Islam, tentu selalu mensakralkan atau mensucikan wahyu Allah sampai kapanpun. Kemudian timbul perdebatan, apakah wakyu itu pada batas tulisan, yang dibacakan ataukah isinya. Apabila yang disebut wahyu Allah itu adalah sisi atau bacaannya, maka bentuk-bentuk tulisan al-Qur’an [rik’ah] dan lain-lain atau penggambaran titik dan harkat, apalagi kaligrafi al-Qur’an, adalah jelas merupakan gejala budaya yang dapat dijadikan objek penelitian[M.Atho Mudzhar, 1998:15].

b. Agama Sebagai Gejala Sosial

Mengenai agama sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada sosiologi agama. Pada zaman dahulu, sosiologi agama mempelajari hubungan timbal-balik antar agama dan masyarakat. Artinya, mesyarakat mempengaruhi agama dan agama mempengaruhi masyarakat. Para ahli sosiologi agama, mulai mempelajari bukan hanya pada soal hubungan timbal-balik saja, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap perilaku atau tingkah laku masyarakat, artinya bagaimana agama sebagai sistem nilai dapat mempengaruhi tingkah laku masayarakat dan bagaimana pengaruh masyarakat terhadap pemikiuran-pemikiran keagamaan. Lahirnya teologi Khawarij, Syiah dan Ahli Sunnah wal Jamaah sebagai produk atau hasil pertikaian politik dan bukan poroduk teologi. Tauhidnya sama, satu dan asli, tetapi anggapan bahwa Ali sebagai imam adalah produk perbedaan pandangan politik. Maka dapat dikatakan, bahwa pergeseran perkembangan pemikiran masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran teologi atau keagamaan.
Saat sekarang ini, mungkin kita dapat meneliti bagaimana perkembangan pemikiran keagamaan masyarakat Indonesia terhadap krisis sosial yang meluas yang dapat disaksikan dalam berbagai bentuk, misalnya; budaya korupsi dan nepotisme sebagai budaya, lenyapnya kesabaran sosial [social temper] dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarki; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya. Berlanjutnya konflik dan kekerasan yang bersumber—atau sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti terjadi di berbagai wilayah Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku Sulawesi Tengah, dan lain-lain.
Contoh lain, dan ini sekaligus menjadi tantangan bagi para pemeluk agama adalah munculnya program tayangan stasiun televisi yang mengusung unsur-usnsur mistik yang dikemas sebagai suatu tontonan yang menarik, penggunaan ayat-ayat Qur’an untuk mengusir setan yang ditayangkan melalui program siaran televisi, pameran busana mewah dengan memperlihatkan bagian tubuh [aurat] yang seharusnya ditutup rapat dan tidak ditontonkan, munculnya kiai yang salat dengan menggunakan bahasa Indonesia, kiai yang menganggap sah menggauli para santrinya, para intelektual Islam para era reformasi, globalisasi dan internet mulai berbicara ”tauhid sosial” dan ”kesalehan sosial”, bagaimana bentuk dan karakteristik tauhid sosial dan kesalehan sosial, mucul ”tokoh muslimah Amerika” yang memimpin salat jum’at, itu semua dapat menjadi fenomena atau gejala sosial keagamaan dan menjadi sasaran penenlitian agama.
Persoalan lain adalah interaksi antar pemeluk suatu agama dan antar pemeluk suatu agama dengan pemeluk agama lainnya, kurukunan antar umat beragama, ”interaksi antara orang-orang Islam ada yang menggunakan norma-norma Islam, tetapi ada juga yang tidak menggunakannya. Maka, pengamatan terhadap apakah mereka menggunakan norma-norma Islam atau tidak, termasuk penelitian ke-Islaman. Demikian juga pengamatan terhadap para pemeluk Islam dalam interaksinya dengan pemeluk agama lain. Bagaimana karakteristik interaksi itu, bagaimana mereka memahami dan mengeskpresikan nilai-nilai Islam dalam interaksi antara pemeluk agama-agama yang berbeda, itu semua dapat menjadi sasaran penelitian agama”. [M.Atho Mudzhar, 1998:18]. Perubahan-perubahan dramatis yang menempa hubungan antara "Barat" dan dunia Islam sebagai akibat dari peristiwa terorisme internasional, perang Iraq-Amerika, tuduhan Barat terhadap tokoh-tokoh muslim radikal sebagai pemimpin terorisme, secara alami juga membawa dampak pada pengajaran dan riset yang terkait dengan studi Islam.
Dari pandangan tentang agama sebagai gejala budaya dan sebagai gejala sosial, elemen-elemen yang harus diketahui dalam Islam adalah persoalan teologi, komsmologi, dan antropologi yang tentu menyangkut dengan persoalan sosial kemanusian dan budaya. Agama Islam merupakan suatu agama yang membentuk suatu masyarakat dan berperadaban. Maka pendekatan yang digunakan dalam memahami Islam, menurut Mukti Ali adalah metode filosofis, karena mengkaji hubungan manusia dan Tuhan yang dibahas dalam filsafat. Dalam arti pemikiran “metafisik” yang umum dan bebas. Selain itu metode-metode ilmu manusia juga perlu digunakan, karena dalam agama Islam masalah kehidupan manusia di bumi ini dibahas. Metode lain, yaitu metode sejarah dan sosiologi yang Islam juga merupakan agama yang membentuk suatu masyarakat dan peradaban serta mengatur hubungan manusia dengan manusia.

2 komentar:

  1. Mantaps gah, coba juga yang ini gan, "MEMAHAMI TENTANG 3 UNSUR GEJALA KEBUDAYAAN"
    http://totaltren.blogspot.com/2014/10/memahami-3-unsur-gejala-kebudayaan.html

    thanks

    BalasHapus